

Anak Di Bawah Umur mengendarai sepeda motor bukan fenomena baru, tapi kecelakaan yang melibatkan mereka terus meningkat tiap tahun. Kurangnya pengawasan orang tua, kelonggaran penegakan hukum, serta budaya permisif menjadi kombinasi berbahaya yang mengancam keselamatan generasi muda.
Data dari Korlantas Polri menunjukkan tren peningkatan kecelakaan lalu lintas yang melibatkan pengendara di bawah umur. Pada tahun 2023, tercatat lebih dari 7.300 kasus kecelakaan melibatkan pengendara berusia di bawah 17 tahun—naik 12% di bandingkan tahun sebelumnya. Mayoritas kasus ini terjadi di jalan-jalan perkotaan padat serta kawasan semi-perkotaan, yang umumnya minim pengawasan langsung dari aparat kepolisian.
Fakta ini di perkuat oleh data dari Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), yang menyebutkan bahwa pengendara berusia 10–16 tahun memiliki tingkat risiko kecelakaan tiga kali lipat lebih tinggi di bandingkan mereka yang telah memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM). Ketidaksiapan fisik, psikis, dan kemampuan teknis mengemudi menjadi penyebab utama tingginya angka kecelakaan tersebut.
Lebih parahnya lagi, sebagian besar kecelakaan yang melibatkan anak-anak terjadi saat mereka berkendara tanpa perlengkapan keselamatan memadai seperti helm standar atau jaket pelindung. Hal ini menunjukkan lemahnya edukasi tentang pentingnya keselamatan berkendara, baik dari keluarga maupun sekolah.
Dalam sebuah survei yang di lakukan oleh Lembaga Demografi Universitas Indonesia tahun 2023, sebanyak 41% orang tua mengizinkan anak-anak mereka yang belum cukup umur untuk membawa sepeda motor, dengan alasan praktis seperti antar-jemput sekolah atau membantu pekerjaan rumah. Ini menunjukkan bahwa peran orang tua masih menjadi tantangan besar dalam menegakkan aturan berkendara aman.
Anak Di Bawah Umur akan terus terdampak jika tidak ada perubahan signifikan dalam regulasi, pendidikan, dan penegakan hukum. Dampaknya fatal, tidak hanya bagi anak tetapi juga pengguna jalan lainnya.
Anak Di Bawah Umur: Celah Hukum Dan Lemahnya Penegakan Aturan secara hukum, anak di bawah usia 17 tahun tidak di perbolehkan mengendarai kendaraan bermotor karena belum memenuhi syarat untuk memperoleh SIM. Aturan ini tercantum dalam Pasal 81 ayat 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang menyatakan bahwa usia minimal untuk mendapatkan SIM C (sepeda motor) adalah 17 tahun.
Namun, implementasi aturan ini masih menghadapi banyak tantangan di lapangan. Penertiban terhadap pelanggar usia seringkali tidak konsisten. Banyak petugas yang memilih pendekatan persuasif daripada penindakan tegas, sehingga pelanggaran tersebut menjadi hal biasa. Bahkan dalam beberapa kasus, anak-anak yang terkena razia hanya di beri teguran lisan dan di minta pulang tanpa ada proses hukum lanjut.
Kondisi ini di perburuk oleh minimnya sistem verifikasi usia dalam pembelian kendaraan. Siapa pun bisa membeli sepeda motor tanpa harus menunjukkan identitas usia, sehingga kendaraan dengan mudah jatuh ke tangan anak-anak. Tak sedikit pula orang tua yang secara sadar membelikan motor kepada anak mereka meski tahu belum cukup umur untuk mengemudi.
Kepolisian Republik Indonesia memiliki program pembinaan dan edukasi melalui Polisi Sahabat Anak serta Polisi Masuk Sekolah di sekolah. Namun, efektivitas program ini masih terbatas karena tidak wajib dan cakupannya belum menjangkau seluruh wilayah, terutama daerah pelosok.
Reformasi sistem hukum serta pengawasan terpadu antara kepolisian, sekolah, dan orang tua sangat di butuhkan untuk mengatasi masalah ini. Tanpa upaya kolektif, aturan hanya menjadi dokumen formal tanpa kekuatan di lapangan.
Peran Orang Tua Dan Sekolah Yang Belum Maksimal orang tua memiliki peran vital dalam menjaga keselamatan anak, termasuk dalam urusan berkendara. Sayangnya, masih banyak orang tua yang bersikap permisif atau bahkan bangga ketika anaknya bisa mengendarai motor sejak usia dini. Persepsi ini mencerminkan kurangnya kesadaran akan risiko tinggi yang mengintai anak saat berkendara di jalan raya.
Menurut hasil riset dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Transportasi Kementerian Perhubungan tahun 2023, sekitar 36% pelajar SMP dan SMA di Indonesia mengaku pertama kali belajar mengendarai motor sebelum usia 15 tahun, dan sebagian besar belajar langsung dari orang tua atau kakak. Ini membuktikan bahwa pelatihan tidak resmi dan tidak terstandar masih menjadi praktik umum.
Sekolah, sebagai institusi yang berperan dalam pembentukan karakter dan edukasi keselamatan, juga belum berkontribusi secara optimal. Program pendidikan lalu lintas yang bersifat sistematis dan terintegrasi dengan kurikulum sekolah masih minim. Beberapa sekolah memang melarang siswa membawa kendaraan ke sekolah, tetapi penegakannya lemah dan sering di abaikan.
Selain itu, guru dan pihak sekolah sering kali tidak memiliki otoritas atau mekanisme untuk menindak siswa yang melanggar aturan berkendara. Bahkan dalam beberapa kasus, sekolah menyediakan area parkir tanpa memeriksa apakah siswa yang membawa motor sudah memiliki SIM atau tidak.
Untuk memperbaiki situasi ini, di butuhkan pendekatan berbasis komunitas—melibatkan sekolah, orang tua, RT/RW, dan aparat kepolisian dalam satu ekosistem edukasi dan pengawasan. Kampanye keselamatan anak harus menjadi agenda prioritas bersama.
Dampak Psikologis Dan Sosial Akibat Kecelakaan Anak ketika anak mengalami kecelakaan lalu lintas, dampaknya tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga menyentuh aspek psikologis dan sosial. Cedera berat seperti patah tulang, trauma kepala, atau kelumpuhan dapat mengubah kehidupan anak secara drastis. Di sisi lain, beban mental akibat rasa bersalah, ketakutan, dan stigma sosial dapat menimbulkan gangguan psikologis jangka panjang.
Sebuah studi dari Ikatan Psikolog Klinis Indonesia (IPK Indonesia) tahun 2022 menunjukkan bahwa anak-anak yang terlibat dalam kecelakaan lalu lintas berisiko tiga kali lebih besar mengalami PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder) di bandingkan anak-anak lain. Mereka mengalami mimpi buruk, kecemasan berlebih, hingga menarik diri dari lingkungan sosial.
Dampak sosial lain juga muncul pada keluarga korban. Selain biaya pengobatan yang tinggi, keluarga juga harus menghadapi tekanan emosional dan sosial. Tak jarang, kasus-kasus kecelakaan anak menyebabkan keretakan hubungan keluarga akibat saling menyalahkan.
Trauma kecelakaan fatal dirasakan keluarga korban, pelaku, dan lingkungan sekolah yang terkena dampak emosional langsung. Anak kehilangan teman akibat kecelakaan sering alami kesedihan dan gangguan konsentrasi saat belajar di sekolah. Oleh karena itu, langkah preventif lebih murah dan efektif dibanding menangani dampak setelah kecelakaan terjadi. Pemerintah wajib menyediakan layanan pendampingan psikologis bagi anak korban sebagai bagian penting pemulihan menyeluruh dan berkelanjutan.
Fenomena anak di bawah umur yang mengendarai motor tidak bisa lagi dianggap sebagai kelaziman sosial. Ini adalah celah pengawasan yang telah memakan banyak korban dan akan terus mengancam keselamatan anak-anak jika tidak segera ditangani secara serius.
Peran orang tua, aparat hukum, dan edukasi sekolah menjadi fondasi membangun kesadaran bahwa keselamatan adalah prioritas utama. Pendekatan komunitas dan transportasi ramah anak seperti bus sekolah harus diperluas untuk kurangi ketergantungan kendaraan pribadi. Anak-anak adalah aset bangsa, dan menjaga keselamatan mereka bukan hanya urusan hukum, tapi juga tanggung jawab moral masyarakat terhadap Anak Di Bawah Umur.