
Premanisme di Indonesia bukan fenomena baru. Premanisme tidak hanya soal kriminalitas, tetapi mencerminkan kesenjangan sosial yang mengakar. Pelaku premanisme sering kali adalah korban sistem sosial yang gagal—gagal melindungi, gagal memberi akses, dan gagal membuka jalan keluar dari kemiskinan.
Jika ditelaah lebih dalam, premanisme juga bisa dilihat sebagai bentuk ‘pemberontakan’ terhadap tatanan yang dianggap tidak adil. Ketika negara gagal hadir di wilayah tertentu, kelompok preman justru mengisi kekosongan tersebut—mengatur keamanan, menarik pungutan, bahkan menjadi “penyambung lidah” warga kepada aparat. Meskipun jelas melanggar hukum, peran ganda ini membuat premanisme menjadi kompleks, tidak hitam-putih.
Menurut survei Komnas HAM tahun 2023, sekitar 62% pelaku kekerasan jalanan yang dikategorikan sebagai preman menyebut alasan ekonomi sebagai motivasi utama mereka bergabung dalam kelompok tersebut. Dengan kata lain, premanisme bukan hanya masalah kriminalitas—melainkan juga masalah struktural yang mencerminkan kegagalan sistem dalam memberikan kesempatan yang adil bagi semua warga negara.
Premanisme secara sosiologis, merupakan cerminan dari apa yang disebut “state failure in micro-level governance”—kegagalan negara dalam menjangkau dan melayani kebutuhan dasar komunitas tertentu. Karena itu, sekadar mengkriminalisasi pelakunya tanpa menyelesaikan akar sosialnya hanya akan memindahkan masalah ke tempat lain, bukan mengatasinya.
Premanisme: Kemiskinan Dan Lingkungan Sosial Yang Memelihara Kekerasan
Premanisme: Kemiskinan Dan Lingkungan Sosial Yang Memelihara Kekerasan kemiskinan menjadi jantung dari persoalan premanisme. Namun, lebih dari sekadar kekurangan materi, kemiskinan yang di maksud mencakup kemiskinan struktural dan multidimensi: kekurangan akses terhadap pekerjaan layak, tempat tinggal yang sehat, kesehatan, dan juga pengakuan sosial.
Ketika seseorang hidup dalam lingkungan penuh tekanan ekonomi dan tanpa pilihan kerja formal, kekerasan menjadi salah satu alat survival. Dalam banyak kasus, preman menjadi “pekerjaan” karena itu satu-satunya peluang yang tersedia di lingkungan sosialnya. Sosiolog Loïc Wacquant menyebutkan fenomena ini sebagai bagian dari “penal state”—di mana kontrol sosial di gantikan oleh kekuatan informal seperti geng dan premanisme akibat absennya negara.
Contoh nyata bisa di lihat di kawasan padat seperti Tanah Abang, Pasar Minggu, atau Terminal Purabaya. Kelompok preman menguasai distribusi barang, parkir, dan jalur keluar-masuk dengan sistem bayaran. Mereka tidak hanya memalak, tapi juga “membuka akses” dengan cara mereka sendiri. Di sini, premanisme menciptakan ekonomi bayangan yang justru membuat mereka “diperlukan”, terutama saat negara lambat merespons kebutuhan di level bawah.
Data dari BPS (Badan Pusat Statistik) menunjukkan bahwa hingga Maret 2024, sekitar 9,4% penduduk Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan. Di daerah-daerah dengan angka kemiskinan tinggi, kehadiran preman sering kali menjadi “gejala sosial” yang di anggap lumrah. Sayangnya, intervensi pemerintah dalam bentuk pengentasan kemiskinan masih kerap bersifat sporadis dan belum menyentuh akar persoalan, yakni pemberdayaan komunitas secara menyeluruh.
Selain itu, kemiskinan kultural juga memainkan peran. Di beberapa komunitas, premanisme bahkan di anggap “biasa”, atau bahkan di banggakan karena menunjukkan kekuatan dan keberanian. Nilai yang berkembang di lingkungan keras lebih menghargai otot daripada otak, dan ketakutan di anggap lebih efektif daripada dialog.
Akses Pendidikan Yang Terbatas Memperpanjang Lingkaran Kekerasan
Akses Pendidikan Yang Terbatas Memperpanjang Lingkaran Kekerasan pendidikan adalah jalan keluar paling strategis dari lingkaran premanisme, namun juga yang paling berat di tembus. Di komunitas miskin, anak-anak lebih sering di dorong untuk bekerja daripada bersekolah, terutama jika sekolah tidak memberikan hasil jangka pendek yang nyata. Sistem pendidikan kita pun sering kali tidak inklusif terhadap mereka yang tinggal di pinggiran kota atau kawasan miskin.
UNESCO mencatat, pada tahun 2022 sekitar 4,3 juta anak usia sekolah di Indonesia tidak bersekolah, sebagian besar karena alasan ekonomi. Di wilayah perkotaan miskin, banyak anak yang sejak usia dini sudah terbiasa membantu orang tua bekerja di jalanan atau pasar. Tanpa pendampingan dan alternatif positif, anak muda mudah terjerat kelompok jalanan yang menjanjikan ‘keluarga baru’ dan perlindungan semu. Minimnya pendidikan formal membuat peluang kerja di sektor resmi menipis, menyebabkan banyak anak muda tersisih dari persaingan dunia kerja. Tanpa ijazah, sertifikat, atau keterampilan di akui, pilihan kerja terbatas dan banyak berakhir dalam aktivitas ilegal demi bertahan hidup. Dalam jangka panjang, kondisi ini memicu regenerasi premanisme karena anak-anak miskin mewarisi siklus kekerasan dari orang tua mereka.
Kurikulum sekolah sering kali tidak kontekstual dengan realitas hidup anak-anak dari lingkungan rawan, sehingga terasa asing dan tidak relevan. Pendidikan yang terlalu akademik dan minim karakter membuat siswa dari wilayah rentan merasa sekolah tidak menjawab kebutuhan hidup nyata. Maka, ketika kelompok preman menawarkan rasa di hargai, kekuatan, dan komunitas, mereka lebih memilih itu.
Membangun Jalan Keluar: Sinergi Negara Dan Masyarakat
Membangun Jalan Keluar: Sinergi Negara Dan Masyarakat memutus lingkaran ini membutuhkan pendekatan sistemik dan jangka panjang. Pemerintah tidak cukup hanya menggelar razia atau menurunkan aparat bersenjata. Premanisme bukan sekadar penyakit sosial, tapi gejala dari sistem yang timpang.
Strategi multi-lapis sangat diperlukan:
-
Penanganan hukum yang tegas dan berkelanjutan terhadap kelompok preman yang menggunakan kekerasan atau pemerasan. Aparat hukum harus hadir bukan hanya ketika viral, tapi juga secara konsisten menjaga keamanan warga.
-
Pemberdayaan ekonomi berbasis komunitas. Program seperti UMKM, padat karya, atau inkubator bisnis lokal bisa di arahkan ke wilayah rawan premanisme dengan syarat integrasi warga rentan, termasuk eks-preman, dalam sistem ekonomi produktif.
-
Pendidikan yang transformasional dan terjangkau. Pemerintah harus memperkuat program pendidikan alternatif seperti Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), Sekolah Kejar Paket, dan pelatihan vokasi untuk anak-anak putus sekolah.
-
Pelibatan tokoh lokal dan komunitas. Tidak semua preman adalah pelaku kejahatan berat. Banyak di antaranya masih bisa di rehabilitasi jika di berikan alternatif sosial dan identitas baru. Di sinilah peran tokoh agama, tokoh pemuda, dan organisasi sipil sangat penting.
Contoh inspiratif bisa di ambil dari program “Sekolah Jalanan” di Yogyakarta, di mana anak-anak pemulung dan mantan anak jalanan di bimbing secara informal dengan kurikulum berbasis seni, keterampilan, dan kesadaran sosial. Hasilnya, beberapa dari mereka kini bekerja sebagai relawan, pelatih seni, bahkan masuk ke perguruan tinggi.
Upaya integratif lainnya terlihat dalam Program Rehabilitasi Sosial Korban NAPZA dan Eks-Kriminal di Surabaya, di mana eks-preman di beri pelatihan mekanik dan mendapat bantuan modal usaha. Program ini menunjukkan bahwa perubahan bisa terjadi jika ada kemauan politik dan pendekatan humanis.
Premanisme Adalah Cermin Ketimpangan Sosial
Premanisme Adalah Cermin Ketimpangan Sosial premanisme tidak bisa di lihat hanya sebagai persoalan hukum atau moralitas individu. Ia adalah cermin dari ketimpangan sosial, kegagalan sistem pendidikan, dan lemahnya akses ke kehidupan yang layak. Preman adalah hasil dari lingkungan yang gagal mendidik, gagal menghidupi, dan gagal melindungi.
Jika kita ingin Indonesia bebas dari kekerasan jalanan, maka kita harus mulai dari memperbaiki sistem yang menelantarkan jutaan anak muda. Artinya, membangun sekolah yang relevan dan inklusif, membuka lapangan kerja yang manusiawi, dan menjadikan negara benar-benar hadir di kantong-kantong kemiskinan.
Masyarakat pun tak boleh tinggal diam. Melawan budaya takut, menolak sikap permisif, dan membangun solidaritas sosial berbasis empati, keberanian, serta gotong royong adalah langkah nyata dalam melawan gejala penyakit sosial yang lebih besar. Dengan pendekatan menyeluruh dan berkelanjutan, kita tidak hanya meredam gejalanya, tetapi juga menyembuhkan akar dari Premanisme.